Menelusuri
Sejarah Korupsi di Indonesia
Pada
kesempatan kali ini Kumpulan Sejarah akan mengajak Sobat semua untuk mengetahui
Sejarah perjalanan Korupsi di Indonesia. Sejak kapan sih Korupsi itu ada di
Indonesia ? Semuanya akan coba saya informasikan disini.
Pengertian
Korupsi
Menurut
bahasa korupsi berasal dari corruptio (bahasa latin) yang berarti busuk,
menggoyahkan, menyogok, memutar balik. sedangkan menurut istilah korupsi adalah
perbuatan memperkaya diri sendiri menggunakan uang yang bukan hak nya.
Menelusuri
Sejarah Korupsi di Indonesia
Korupsi
di Indonesia Dalam Sejarah
Korupsi
di Indonesia sudah ‘membudaya’ sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di
era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah
dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari
api. Periodisasi korupsi di Indonesia secara umum dapat dibagi dua, yaitu
periode pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan.
PRA
KEMERDEKAAN
a.
Masa Pemerintahan Kerajaan
“Budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti
karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita.
Perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari
(sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati,
Tohjoyo, Ranggawuni, Mahesa, Wongateleng, dan seterusnya).
Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro
dan lain-lain).
Demak (Joko Tingkir dengan Haryo
Penangsang).
Banten (Sultan Haji merebut tahta dari
ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso).
Perlawanan rakyat terhadap Belanda dan
seterusnya sampai terjadinya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara
telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.
Kehancuran kerajaan-kerajaan besar
(Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian
besar para bangsawannya.
Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak
adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Balaputra Dewa.
Majapahit diketahui hancur karena adanya
perang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada.
Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi
karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.
b.
Masa Kolonial Belanda
Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti,
VOC memecah Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan
Kasunanan Surakarta.
Tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan
Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan
Mangkunegaran.
Kesultanan Yogyakarta juga dibagi dua
menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.
Dalam buku History of Java karya Thomas
Stamford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun
1811-1816), Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter
penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan.
Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain.
Tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil
sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui. Hal
menarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara
sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau
mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka
atau berperilaku oportunis.
Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih
suka disanjung, dihormati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran.
Dalam aspek ekonomi, raja dan lingkaran
kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya
“dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau
kehendak “penguasa”.
Budaya yang sangat tertutup dan penuh
“keculasan” itu turut menyuburkan “budaya korupsi” di Nusantara. Tidak jarang
abdi dalem juga melakukan “korup” dalam mengambil “upeti” (pajak) dari rakyat
yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan
diserahkan kepada Tumenggung. Abdi dalem di Katemenggungan setingkat kabupaten
atau propinsi juga mengkorup harta yang akan diserahkan kepada Raja atau
Sultan.
Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat
kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai
Nusantara (1800 - 1942) minus Zaman Inggris (1811 - 1816), Akibat kebijakan
itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja
misalnya perlawanan Diponegoro (1825-1830), Imam Bonjol (1821-1837), Aceh
(1873-1904) dan lain-lain.
Lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan
atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh
bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada
pelaksanaan Sistem “Cultuur Stelsel (CS)” yang secara harfiah berarti Sistem
Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman
produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat
memprihatinkan.
PASCA
KEMERDEKAAN
a.
Orde Lama
Dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi,
Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN) dibentuk berdasarkan UU Keadaan
Bahaya, dipimpin oleh A.H. Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni
Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani. Namun ternyata pemerintah pada waktu itu
setengah hati menjalankannya.
Pejabat pemerintah diharuskan mengisi
formulir yang disediakan, istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara
(DKPN). Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir
tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir
itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No
275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. A.H. Nasution
yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab dibantu oleh Wiryono
Prodjodikusumo. Tugasnya yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja
pengadilan. Lembaga ini di kemudian hari dikenal dengan istilah “Operasi
Budhi”. Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga
negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata
juga mengalami hambatan.
Soebandrio mengumumkan pembubaran
Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando
Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya
serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat
pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi
Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11
miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap
mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan.
b.
Orde Baru
Dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK)
yang diketuai Jaksa Agung.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidakseriusan
TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar
melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK.
Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog,
Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap
sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan
mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto.
Dibentuk Komite Empat beranggotakan
tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, I.J
Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugasnya yang utama adalah membersihkan
antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan
Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong” karena hasil temuannya tentang
dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai
Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) dengan tugas antara lain
juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat.
Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang
cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode
atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil
dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan
kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya
waktu, Opstib pun hilang tanpa bekas sama sekali.
c.
Reformasi
Pada Era Reformasi hampir seluruh elemen
penyelenggara negara sudah terjangkit “Virus Korupsi” yang sangat ganas.
Presiden BJ Habibie mengeluarkan UU Nomor
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN
berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau
lembaga Ombudsman.
Presiden Abdurrahman Wahid membentuk Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk
memberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah
Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran
dalam upaya pemberantasan KKN.
Di samping membubarkan TGPTPK, Presiden Gus
Dur juga dianggap tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung
upaya pemberantasan korupsi.
Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi
yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus
Dur didera kasus Buloggate.
Di masa pemerintahan Megawati, wibawa hukum
semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan.
Konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat
hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo
Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya
Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA
kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit
pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi. Masyarakat menilai
bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang
notabene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah
semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak
pula di sejumlah DPRD era Reformasi.
Komisi Pemberantasan Korupsi, atau
disingkat menjadi KPK, adalah komisi yang dibentuk pada tahun 2003 untuk
mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini
didirikan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002
mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada tanggal 16 Desember 2003,
Taufiequrachman Ruki, dilantik menjadi Ketua KPK. KPK hendak memposisikan
dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk
terciptanya jalannya sebuah “good and clean governance” (pemerintahan baik dan
bersih) di Republik Indonesia. Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat
kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi.
Wah,
ternyata korupsi bukanlah menjadi hal baru di Indonesia. Penjelasan diatas
menjadi gambaran bahwa korupsi telah mendarah daging bahkan korupsi telah
menjadi budaya bangsa yang diwariskan oleh pemerintah kita. Ini tidak bisa kita
biarkan terjadi terus menerus. Demi kebaikan kita bersama, mari kita perangi
korupsi. Jadilah generasi muda yang anti korupsi. Siapa lagi kalau bukan kita
yang akan menyelamatkan negeri ini.
Sumber:
http://fakti11a3.blogspot.com/2012/06/sejarah-korupsi.html
http://dedesuryanti.blogspot.com/2012/10/sejarah-korupsi-di-indonesia.html
Recent Comments